Badak sumatera
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
"Badak berambut" beralih ke halaman ini. Untuk megafauna yang telah punah, lihat badak berbulu wol.
Badak sumatera[1] | |
---|---|
Emi dan Harapan, dua ekor badak sumatera di Kebun Binatang Cincinnati | |
Status konservasi | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kingdom: | Animalia |
Filum: | Chordata |
Kelas: | Mammalia |
Ordo: | Perissodactyla |
Famili: | Rhinocerotidae |
Genus: | Dicerorhinus Gloger, 1841 |
Spesies: | D. sumatrensis |
Nama binomial | |
Dicerorhinus sumatrensis (Fischer, 1814)[3] |
|
Subspesies | |
|
Badak sumatera, juga dikenal sebagai badak berambut atau badak Asia bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis),[5] merupakan spesies langka dari famili Rhinocerotidae dan termasuk salah satu dari lima spesies badak yang masih ada. Badak sumatera merupakan satu-satunya spesies yang terlestarikan dari genus Dicerorhinus. Badak ini adalah badak terkecil, meskipun masih tergolong hewan mamalia yang besar. Tingginya 112-145 cm sampai pundak, dengan panjang keseluruhan tubuh dan kepala 2,36-3,18 m, serta panjang ekornya 35–70 cm. Beratnya dilaporkan berkisar antara 500 sampai 1.000 kg,
dengan rata-rata 700–800 kg, meskipun ada suatu catatan mengenai seekor
spesimen dengan berat 2.000 kg. Sebagaimana spesies badak Afrika, badak
sumatera memiliki dua cula;
yang lebih besar adalah cula pada hidung, biasanya 15–25 cm, sedangkan
cula yang lain biasanya berbentuk seperti sebuah pangkal. Sebagian besar
tubuh badak sumatera diselimuti rambut berwarna cokelat kemerahan.
Spesies ini pernah menghuni hutan hujan, rawa, dan hutan pegunungan di India, Bhutan, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Tiongkok. Dalam sejarahnya, badak sumatera dahulu tinggal di bagian barat daya Tiongkok, khususnya di Sichuan[6][7] Mereka sekarang terancam punah, dengan hanya enam populasi yang cukup besar di alam liar: empat di Sumatera, satu di Kalimantan, dan satu di Semenanjung Malaysia.
Jumlah badak sumatera sulit ditentukan karena mereka adalah hewan
penyendiri yang tersebar secara luas, tetapi dapat diperkirakan kalau
jumlahnya kurang dari 100 ekor. Ada keraguan mengenai kelangsungan hidup
populasinya di Semenanjung Malaysia, dan salah satu populasi di
Sumatera mungkin sudah punah. Jumlah mereka saat ini mungkin hanya 80
ekor.[8] Pada tahun 2015, para peneliti mengumumkan bahwa badak sumatera timur di bagian utara Kalimantan (Sabah, Malaysia) telah punah.[9]
Dalam sebagian besar masa hidupnya, badak sumatera merupakan hewan
penyendiri, kecuali selama masa kawin dan memelihara keturunan. Mereka
merupakan spesies badak yang paling vokal dan juga berkomunikasi dengan
cara menandai tanah dengan kakinya, memelintir pohon kecil hingga membentuk pola, dan meninggalkan kotorannya. Spesies ini jauh lebih baik untuk dipelajari daripada badak jawa
yang sama tertutupnya, sebagian dikarenakan adanya program yang membawa
40 badak sumatera ke dalam konservasi ex-situ dengan tujuan
melestarikan spesies tersebut. Program ini bahkan dianggap sebagai
bencana oleh pemrakarsanya; sebagian besar badak tersebut mati dan tidak
ada keturunan yang dihasilkan selama hampir 20 tahun, sehingga
menggambarkan penurunan populasi yang bahkan lebih buruk daripada
habitatnya di alam liar.
Daftar isi
Taksonomi dan penamaan
Badak sumatera yang pertama kali didokumentasikan ditembak di suatu daerah yang berjarak 16 km dari luar Benteng Marlborough, dekat pesisir barat Sumatera, pada tahun 1793. Gambar hewan tersebut dan penulisan deskripsinya dikirimkan ke Joseph Banks, seorang naturalis yang kelak menjadi presiden Royal Society,
yang menerbitkan sebuah makalah tentang spesimen tersebut pada tahun
yang sama. Pada tahun 1814, spesies ini diberikan nama ilmiah oleh Johann Fischer von Waldheim, seorang ilmuwan Jerman dan kurator dari Museum Negara Darwin di Moskow, Rusia.[10][11]
Nama ilmiah Dicerorhinus sumatrensis berasal dari istilah Yunani di (δι, yang artinya "dua"), cero (κέρας yang berarti "cula"), dan rhinos (ρινος, yang artinya "hidung").[12] Sumatrensis menandakan "dari Sumatera", sebuah pulau di Indonesia tempat di mana badak tersebut pertama kali ditemukan.[13] Carolus Linnaeus awalnya mengklasifikasikan semua badak ke dalam genus Rhinoceros; oleh karenanya spesies ini pada awalnya diidentifikasi sebagai Rhinoceros sumatrensis. Joshua Brookes
menganggap badak sumatera, yang mana bercula dua, merupakan suatu genus
yang berbeda dengan badak bercula satu, dan memberinya nama Didermocerus pada tahun 1828. Constantin Wilhelm Lambert Gloger mengusulkan nama Dicerorhinus pada tahun 1841. Pada tahun 1868, John Edward Gray mengusulkan nama Ceratorhinus. Biasanya nama yang paling lama yang akan digunakan, namun sebuah keputusan pada tahun 1977 dari International Commission on Zoological Nomenclature menetapkan nama genusnya secara tepat sebagai Dicerorhinus.[3][14]
Tiga subspesies badak sumatera yaitu:
D. s. sumatrensis, dikenal sebagai badak sumatera barat, hanya tersisa antara 75 sampai 85 ekor badak, kebanyakan berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Gunung Leuser di Sumatera, tetapi juga ada sejumlah kecil yang menghuni Taman Nasional Way Kambas.[2] Mungkin sudah tidak ada lagi yang tersisa dan masih hidup di Semenanjung Malaysia.[15] Ancaman utama terhadap subspesies ini adalah hilangnya habitat mereka dan perburuan liar. Ada catatan mengenai sedikit perbedaan genetika antara badak sumatera timur dan barat.[2] Badak-badak di Semenanjung Malaysia pernah dikenal sebagai D. s. niger, tetapi kemudian dikenali kemiripannya dengan badak-badak di bagian barat Sumatera.[3]
D. s. harrissoni, dikenal sebagai badak sumatera timur atau badak kalimantan, pernah tersebar luas di seluruh Pulau Kalimantan; saat ini hanya 10 ekor yang diperkirakan masih hidup.[2] Populasinya yang telah diketahui di Kalimantan menghuni Sabah, sementara bukti video dari kamera intai juga memastikan kehadiran mereka di Kalimantan Timur.[16] Laporan mengenai adanya badak ini di Serawak belum dapat dikonfirmasi.[2] Subspesies ini mendapat namanya dari Tom Harrisson, yang bekerja secara ekstensif dengan antropologi dan zoologi Kalimantan pada tahun 1960-an.[17] Subspesies Kalimantan ini secara nyata lebih kecil dibandingkan dengan dua subspesies lainnya.[3] Badak sumatera timur baru-baru ini dinyatakan punah di alam liar dan hanya tersisa tiga ekor (1 jantan dan 2 betina) dalam konservasi di Sabah.[18]
D. s. lasiotis, dikenal sebagai badak sumatera utara atau badak chittagong, pernah menghuni India dan Bangladesh, tetapi telah dinyatakan punah
di negara-negara tersebut. Laporan-laporan yang belum dikonfirmasi
menunjukkan sejumlah populasi kecil yang mungkin masih bertahan hidup di
Birma, namun situasi politik di negara tersebut telah mencegah dilakukannya pemeriksaan.[2] Nama lasiotis
berasal dari bahasa Yunani untuk "telinga berambut". Penelitian di
kemudian hari menunjukkan bahwa telinga berambut yang dimiliki
subspesies ini tidak lebih panjang daripada badak sumatera lainnya,
tetapi D. s. lasiotis tetap menjadi suatu subspesies karena secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan subspesies lainnya.[3]
Evolusi
Leluhur badak dahulu kala menyimpang dari hewan berkuku ganjil lainnya pada masa Eosen Awal. Perbandingan DNA mitokondria menunjukkan kesan bahwa leluhur dari badak modern terpisah dari leluhur Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.[19][20] Famili yang sekarang masih ada, Rhinocerotidae, pertama kali muncul pada masa Eosen Akhir di Eurasia, dan leluhur spesies badak yang masih ada sekarang mulai tersebar dari Asia pada masa Miosen.[21]
Badak sumatera dianggap paling sedikit karakter turunannya dari spesies badak yang masih ada saat ini, karena ciri-cirinya lebih mirip dengan leluhur Miosennya.[22] Bukti paleontologis dalam catatan fosil menunjukkan asal genus Dicerorhinus ini dari masa Miosen Awal, antara 23–16 juta tahun yang lalu. Banyak fosil yang telah diklasifikasikan sebagai genus Dicerorhinus, namun tidak ada spesies baru lainnya dalam genus ini.[23] Penanggalan molekuler menunjukkan terjadinya perpecahan Dicerorhinus
dari keempat spesies lain yang masih ada pada 25.9 ± 1.9 juta tahun
yang lalu. Tiga hipotesis telah diajukan terkait hubungan antara badak
sumatera dengan spesies lainnya yang masih ada. Satu hipotesis
menyatakan bahwa badak sumatera berkaitan erat dengan badak putih dan
hitam di Afrika, yang dibuktikan dengan adanya spesies yang memiliki dua cula, bukannya satu.[19] Ahli taksonomi lainnya menganggap badak sumatera adalah kerabat dekat (sister taxon) badak jawa dan India, karena sebaran mereka bertumpang tindih sedemikian eratnya.[19][24]
Hipotesis ketiga, yang mana berdasarkan pada analisis yang lebih baru,
menyatakan bahwa dua badak Afrika, dua badak Asia, dan badak sumatera
mewakili tiga garis keturunan yang pada dasarnya berbeda dan terpisah
sejak sekitar 25,9 juta tahun yang lalu; masih belum jelas kelompok mana
yang pertama kali menyimpang.[19][25]
Karena kemiripan morfologi, badak sumatera diyakini terkait erat dengan badak berbulu wol (Coelodonta antiquitatis)
yang sudah punah. Badak berbulu wol, dinamakan demikian karena lapisan
rambut yang dimilikinya seperti pada badak sumatera, pertama kali muncul
di Tiongkok; pada kala Pleistosen Akhir, badak ini tersebar di seluruh benua Eurasia dari Korea hingga Spanyol. Badak berbulu wol berhasil selamat dari zaman es terakhir, namun sama seperti mamut berbulu,
sebagian besar ataupun semuanya punah sekitar 10.000 tahun yang lalu.
Meskipun beberapa kajian morfologi mempertanyakan hubungan antara kedua
spesies tersebut,[25] analisis molekuler baru-baru ini mendukung anggapan bahwa keduanya berkerabat dekat (sister taxa).[26]
Deskripsi
Seekor badak sumatera dewasa tingginya sekitar 120–145 cm sampai
pundak, panjang tubuhnya sekitar 250 cm, dan beratnya 500–800 kg;[27] sementara badak terbesar yang diketahui, yang berada di kebun binatang, beratnya mencapai 2.000 kg.[28]
Layaknya spesies Afrika, badak ini memiliki dua cula. Yang ukurannya
lebih besar adalah cula hidung, biasanya hanya sepanjang 15–25 cm, namun
ada spesimen yang tercatat berukuran 81 cm.[27]
Cula belakangnya jauh lebih kecil, biasanya kurang dari 10 cm
panjangnya, dan seringkali hanya sedikit lebih besar dari sebuah tombol.
Cula belakang (posterior) yang lebih kecil itu dikenal sebagai cula
dahi (frontal), sedangkan cula hidung yang lebih besar dikenal sebagai
cula depan (anterior).[23] Cula-cula tersebut berwarna abu-abu gelap atau hitam. Meskipun spesies ini tidak dinyatakan sebagai dimorfik seksual,
pejantan memiliki cula yang lebih besar daripada betina. Badak sumatera
diperkirakan dapat hidup selama 30–45 tahun di alam liar, sedangkan
rekor waktu dalam penangkaran adalah seekor D. lasiotis betina yang hidup selama 32 tahun 8 bulan sebelum ia mati pada tahun 1900 di Kebun Binatang London.[23]
Dua lipatan kulit yang tebal mengelilingi tubuhnya di bagian belakang
kaki depan dan di depan kaki belakang. Badak ini memiliki lipatan kulit
yang lebih kecil di sekitar lehernya. Kulit itu sendiri relatif tipis,
hanya 10–16 mm; dan, di habitatnya di alam liar, badak ini tampaknya
tidak memiliki lapisan lemak di bawah kulitnya.
Rambutnya dapat saja lebat (rambut yang paling lebat terdapat pada anak
badak) ataupun jarang, dan biasanya berwarna coklat kemerahan. Di alam
liar, sulit untuk mengamati rambutnya karena badak-badak tersebut
seringkali berlumuran lumpur. Namun, di penangkaran, rambutnya dapat
bertumbuh dan menjadi lebih kasar, kemungkinan karena kurangnya gesekan
yang ditimbulkan dari perjalanan menembus vegetasi
(jika hidup di habitatnya di alam liar). Badak sumatera memiliki
sebidang rambut panjang di sekitar telinga dan segumpal rambut tebal di
ujung ekor. Sama seperti semua badak, penglihatannya sangat buruk. Badak
sumatera termasuk cepat dan tangkas; mereka dapat mendaki gunung dengan
mudah, dan dengan nyaman melintasi tepi sungai serta lereng yang curam.[13][23][27]
Penyebaran dan habitat
Badak sumatera hidup di hutan pegunungan, rawa, dan hutan hujan
sekunder di dataran rendah maupun dataran tinggi. Badak tersebut
mendiami daerah perbukitan yang dekat dengan air, terutama di bagian
atas lembah-lembah yang curam dengan semak belukar yang sangat banyak.
Badak sumatera pernah tersebar secara berkesinambungan sampai jauh ke
utara yakni Birma, India timur, dan Bangladesh. Laporan-laporan yang belum dikonfirmasi juga menyatakan bahwa badak tersebut pernah menghuni Kamboja, Laos, dan Vietnam. Semua hewan yang masih hidup, dan diketahui, tinggal di Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatera, dan Sabah,
Kalimantan. Beberapa aktivis konservasi berharap badak sumatera masih
ada di Birma, meskipun dianggap tidak mungkin. Gejolak politik di Birma
telah mencegah setiap penilaian atau penelitian terkait kemungkinan
adanya spesies yang masih hidup.[29] Laporan terakhir mengenai adanya hewan-hewan liar dari spesies ini di perbatasan India berasal dari tahun 1990-an.[30]
Badak sumatera tersebar secara luas, jauh melebihi badak Asia
lainnya, sehingga menyulitkan para aktivis atau ahli konservasi untuk
melindungi spesies ini secara efektif.[29] Hanya lima daerah yang diketahui dihuni badak sumatera: Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Gunung Leuser, dan Taman Nasional Way Kambas di Sumatera; di Pulau Kalimantan berada di Lembah Danum (Sabah, Malaysia) dan di sebelah barat Samarinda (Indonesia).[31]
Taman Nasional Kerinci Seblat, taman nasional terbesar di Sumatera, diperkirakan dihuni dengan populasi sekitar 500 badak pada tahun 1980-an,[32]
tetapi populasi ini sekarang dianggap sudah punah karena perburuan
liar. Sangat tidak mungkin ada seekor pun yang masih bertahan hidup di
Semenanjung Malaysia.[8]
Analisis genetika terhadap populasi badak sumatera berhasil mengidentifikasi tiga garis keturunan genetik yang berbeda.[11] Jalur penghubung antara Sumatera dan Malaysia bukanlah suatu penghalang berarti bagi badak-badak ini seperti Pegunungan Bukit Barisan
di sepanjang Sumatera. Sebab badak di Sumatera bagian timur dan
Semenanjung Malaysia memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan
badak di sisi lain pegunungan tersebut di Sumatera bagian barat. Dalam
kenyataannya, badak Malaysia dan Sumatera timur sedikit sekali
memperlihatkan varian genetika, populasi mereka kemungkinan besar tidak
terpisah selama kala Pleistosen,
ketika permukaan air laut jauh lebih rendah dan Sumatera merupakan
bagian dari daratan utama pada kala tersebut. Namun populasi di Sumatera
maupun Malaysia cukup dekat kaitannya secara genetik, sehingga perkawinan silang tidak akan menimbulkan masalah. Badak dari Kalimantan cukup berbeda sehingga para ahli genetika konservasi menyarankan untuk tidak menyilangkan garis keturunan mereka dengan populasi lainnya.[11] Para ahli genetika konservasi baru-baru ini mulai mempelajari keragaman lungkang gen dalam populasi ini dengan mengidentifikasi lokus mikrosatelit.
Hasil pengujian awal menemukan tingkatan variabilitas dalam populasi
badak sumatera yang dapat dibandingkan dengan yang ada dalam populasi
badak Afrika yang tidak terlalu terancam kepunahan, tetapi keragaman
genetika badak sumatera merupakan sebuah bidang penelitian
berkelanjutan.[33]
Meskipun badak sumatera telah dianggap punah di Kalimantan sejak tahun 1990-an, pada bulan Maret 2013 World Wide Fund (WWF) mengumumkan bahwa tim yang sedang memantau aktivitas orang utan di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur,
menemukan beberapa beberapa gigitan badak pada cabang kecil, jejak cula
badak pada dinding lubang lumpur, bekas gesekan tubuh badak pada pohon,
lubang lumpur, dan jejak kaki badak yang masih baru. Tim tersebut juga
mengidentifikasikan bahwa badak-badak tersebut memakan lebih dari 30
spesies tanaman.[34]
Pada tanggal 2 Oktober 2013, citra video hasil kamera intai yang
menunjukkan adanya badak sumatera di Kutai Barat dirilis oleh WWF. Para
ahli menganggap bahwa video tersebut menunjukkan dua hewan yang berbeda,
namun tidak begitu yakin. Menurut Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan Republik Indonesia
pada saat itu, bukti video tersebut "sangat penting" dan menyebutkan
bahwa Indonesia memiliki "target pertumbuhan populasi badak sebesar tiga
persen per tahun".[11][35]
Tingkah laku
Badak sumatera adalah binatang penyendiri, kecuali pada musim kawin dan selama membesarkan keturunan. Wilayah jangkauan pejantan dapat mencapai 50 km2, sedangkan betina 10–15 km2.[13]
Jangkauan para betina tampaknya terpisah oleh jarak, sedangkan
jangkauan para pejantan seringkali saling bersinggungan. Tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa badak sumatera mempertahankan wilayah mereka
melalui perkelahian. Penandaan wilayah masing-masing dilakukan dengan
cara menggores tanah dengan kaki mereka, membengkokkan pohon muda dengan
pola yang khas, dan meninggalkan kotoran. Badak sumatera biasanya
paling aktif pada saat makan, pada waktu fajar, dan sesaat setelah
senja. Pada siang hari, mereka berkubang dengan cara mandi lumpur untuk mendinginkan tubuh dan beristirahat. Saat musim hujan,
mereka pindah ke tempat yang lebih tinggi; pada masa-masa yang lebih
dingin, mereka kembali ke daerah yang lebih rendah dalam wilayah
jangkauan mereka.[13]
Kalau lubang lumpur tidak tersedia, badak tersebut akan memperdalam
genangan air dengan kaki dan culanya. Kebiasaan berkubang membantu badak
mempertahankan suhu tubuhnya dan melindungi kulitnya dari ektoparasit
dan serangga lainnya. Spesimen di penangkaran, yang tidak mendapat
waktu berkubang secara memadai, dengan cepatnya menderita kerusakan
kulit dan peradangan, pernanahan,
masalah pada mata, peradangan kuku, kerontokan rambut, dan akhirnya
mati. Suatu penelitian selama 20 bulan mengenai kebiasaan berkubang
mendapati bahwa mereka tidak akan mengunjungi lebih dari tiga kubangan
pada setiap waktu tertentu. Setelah 2–12 bulan menggunakan suatu
kubangan tertentu, badak tersebut akan meninggalkannya. Biasanya mereka
berkubang sekitar tengah hari selama dua sampai tiga jam sebelum mencari
makan. Meskipun pengamatan terhadap badak sumatera di kebun-kebun
binatang memperlihatkan bahwa mereka berkubang kurang dari 45 menit
sehari, penelitian terhadap badak-badak liar menemukan bahwa mereka
berkubang antara 80–300 menit (dengan rata-rata 166 menit) sehari.[37]
Hanya ada sedikit kesempatan untuk mempelajari epidemiologi badak sumatera. Caplak dan Gyrostigma dilaporkan sebagai penyebab kematian hewan dalam penangkaran pada abad ke-19.[27] Badak ini juga dikenal rentan terhadap surra, suatu penyakit darah, yang mana dapat disebarkan oleh pikat yang membawa Trypanosoma
yang bersifat parasit; pada tahun 2004, kelima badak di Pusat
Konservasi Badak Sumatera mati selama kurun waktu 18 hari setelah
terinfeksi penyakit ini.[38] Badak sumatera tidak memiliki predator yang diketahui selain manusia. Harimau dan anjing
liar mungkin mampu membunuh anak badak, tetapi anak-anak tersebut tetap
tinggal dekat dengan induk mereka, dan frekuensi pembunuhan yang
demikian tidak diketahui. Meskipun wilayah jangkauan badak sumatera
bersinggungan dengan gajah dan tapir, badak tersebut tampaknya tidak bersaing dalam memperebutkan makanan atau habitat. Gajah (Elephas maximus)
dan badak sumatera bahkan diketahui saling berbagi jalan atau lintasan,
dan banyak spesies yang lebih kecil seperti rusa, babi hutan, dan
anjing liar akan menggunakan lintasan yang dibuat oleh badak dan gajah.[13][39]
Badak sumatera mempertahankan lintasan-lintasan dalam wilayah
jangkauannya. Lintasan tersebut terbagi menjadi dua jenis. Lintasan
utama akan digunakan oleh beberapa generasi badak untuk melakukan
perjalanan antar daerah penting dalam wilayah jangkauan masing-masing
badak, seperti antar kawasan menggaram, atau dalam koridor
yang melewati medan tak bersahabat yang memisahkan antar wilayah
jangkauan. Dalam daerah makanan, badak tersebut akan membuat lintasan
yang lebih kecil, yang masih tertutup vegetasi, menuju daerah yang
mengandung makanan. Ditemukan adanya lintasan badak sumatera yang
menyeberangi sungai yang lebih dalam dari 1,5 m dan sekitar 50 m lebarnya. Arus dari sungai-sungai ini dikenal kuat, tetapi badak sumatera adalah perenang tangguh.[23][27]
Di dekat sungai-sungai dalam wilayah jangkauan badak sumatera relatif
tidak memiliki kubangan, sehingga menandakan bahwa mereka terkadang
mandi di sungai sebagai ganti berkubang.[39]
Menu makanan
Searah jarum jam dari kiri atas: Mallotus, manggis, Ardisia, dan Eugenia.[39][40] |
Waktu makan badak sumatera kebanyakan pada saat sebelum malam tiba dan pagi hari. Mereka adalah herbivori, dengan menu makanan pohon muda, dedaunan, buah-buahan, ranting dan tunas pohon.[23] Badak tersebut biasanya mengkonsumsi sampai dengan 50 kg makanan sehari.[13]
Para peneliti berhasil mengidentikasi bahwa ada lebih dari 100 spesies
makanan menjadi konsumsi badak sumatera, terutama dengan cara mengukur
sampel-sampel kotoran mereka. Porsi terbesar dari menu makanan mereka
adalah anakan pohon dengan diameter batang 1–6 cm. Badak sumatera
biasanya mendorong pohon-pohon muda ini dengan tubuhnya, berjalan di
atas pohon tersebut tanpa menginjaknya untuk dapat memakan daun-daunnya.
Banyak spesies tanaman yang dikonsumsi badak sumatera hanya dalam porsi
kecil, sehingga menunjukkan bahwa badak tersebut sering mengganti menu
makanannya dan makan di lokasi yang berbeda.[39] Di antara tanaman-tanaman yang paling umum dimakan badak sumatera, terdapat banyak spesies dari suku Euphorbiaceae, Rubiaceae, dan Melastomataceae. Spesies yang paling umum dikonsumsi badak tersebut adalah Eugenia.[40]
Menu makanan nabati dari badak sumatera kaya akan serat dan hanya berkadar protein sedang.[41] Menggaram sangat penting untuk nutrisi badak sumatera. Tempat menggaram dapat berupa kolam lumpur, rembesan air asin, atau mata air panas
yang kecil. Tempat-tempat tersebut juga berperan sebagai fungsi sosial
yang penting bagi badak-badak tersebut; badak jantan berkunjung ke
tempat itu agar dapat menangkap aroma betina yang sedang berahi.
Namun beberapa badak sumatera tinggal di daerah di mana tidak tersedia
tempat menggaram, atau badak-badak tersebut belum teramati ketika sedang
menggunakan tempat-tempat tersebut. Badak-badak ini dapat memenuhi
kebutuhan mineral yang diperlukannya dengan cara mengkonsumsi tanaman
yang kaya akan mineral.[39][40]
Komunikasi
Badak sumatera merupakan spesies badak yang paling vokal (banyak bersuara).[42]
Pengamatan terhadap spesies ini di kebun-kebun binatang memperlihatkan
bahwa badak sumatera hampir terus menerus bersuara, dan diketahui bahwa
mereka juga melakukannya di alam liar.[27] Badak sumatera mengeluarkan tiga suara berbeda: eep, "paus", dan "tiupan peluit". Eep,
berupa satu dengkingan pendek selama satu detik, merupakan suara yang
paling umum. "Paus", dinamakan demikian karena kemiripannya dengan vokalisasi paus bungkuk,
merupakan suara yang paling serupa dengan nyanyian dan kedua yang
paling umum. Nada suara "paus" bervariasi dan berlangsung selama 4–7
detik. "Tiupan peluit" merupakan suara siulan selama 2 detik yang segera
disusul dengan suatu semburan udara. "Tiupan peluit" adalah vokalisasi
yang paling keras, cukup keras untuk membuat jeruji besi pada kandang
kebun binatang di mana badak tersebut diamati menjadi bergetar. Maksud
dari semua vokalisasi ini tidak diketahui, meskipun ada teori yang
menyatakan bahwa mereka melakukannya untuk menyampaikan adanya bahaya,
kesiapan secara seksual, dan lokasi, seperti halnya vokalisasi hewan berkuku
lainnya. "Tiupan peluit" dapat terdengar dari jarak yang sangat jauh,
bahkan dalam semak lebat di mana badak sumatera tinggal. Vokalisasi
dengan volume serupa dari gajah terbukti dapat terdengar hingga jarak 9,8 km dan "tiupan peluit" mungkin dapat terdengar sampai sejauh itu juga.[42] Badak sumatera kadang-kadang memilin anakan pohon yang tidak mereka makan. Perilaku ini diyakini sebagai suatu bentuk komunikasi, seringkali menandakan adanya persimpangan dalam suatu lintasan.[39]
Reproduksi
Betina mencapai kematangan seksual pada usia 6–7 tahun, sedangkan jantan pada usia sekitar 10 tahun. Periode gestasi
badak sumatera sekitar 15–16 bulan. Seekor anak, yang mana beratnya
secara umum 40–60 kg, disapih setelah berusia sekitar 15 tahun dan tetap
tinggal bersama induknya selama 2–3 tahun pertama hidupnya. Di alam
liar, interval kelahiran spesies ini diperkirakan antara empat sampai
lima tahun; belum ada penelitian tentang bagaimana perilaku atau cara
mereka mengasuh keturunannya secara alamiah.[13]
Kebiasaan perkembangbiakan badak sumatera telah diteliti dalam
penangkaran. Kedekatan secara seksual diawali dengan masa pacaran yang
ditandai dengan meningkatnya vokalisasi, pembesaran ekor, buang air kecil,
dan meningkatnya kontak fisik; baik jantan maupun betina menggunakan
moncong mereka untuk menyentuh kepala dan alat kelamin pasangannya. Pola
pacaran seperti ini paling mirip dengan badak hitam.
Badak sumatera jantan yang masih muda seringkali terlalu agresif
terhadap yang betina, terkadang mereka melukai dan bahkan membunuhnya
selama pacaran. Di alam liar, sang betina dapat melarikan diri dari
pejantan yang terlalu agresif, namun tidak demikian jika di kandang
penangkaran yang ruang geraknya terbatas sehingga mereka tidak dapat
melarikan diri. Ketidakmampuan badak betina untuk meloloskan diri dari
pejantan yang agresif mungkin sedikit banyak berperan terhadap rendahnya
tingkat keberhasilan program-program perkembangbiakan dalam
penangkaran.[43][44][45]
Masa berahi
itu sendiri, saat badak betina bersikap reseptif terhadap badak jantan,
berlangsung sekitar 24 jam, dan pengamatan-pengamatan telah mencatat
bahwa masa tersebut terulang kembali dalam interval 21–25 hari.
Badak-badak di Kebun Binatang Cincinnati
teramati melakukan persetubuhan selama 30–50 menit, serupa lamanya
dengan badak-badak yang lain; pengamatan dalam Pusat Konservasi Badak
Sumatera di Malaysia memperlihatkan suatu siklus persetubuhan yang lebih
singkat. Karena Kebun Binatang Cincinnati memiliki sejarah kehamilan
yang sukses, dan badak lainnya juga menunjukkan periode persetubuhan
yang sama lamanya, kebiasaan yang lama ini kemungkinan merupakan
perilaku alaminya.[43]
Meskipun pengamatan para peneliti memperlihatkan kesuksesan terjadinya
pembuahan, semua kehamilan ini berakhir dengan kegagalan karena berbagai
alasan hingga kesuksesan kelahiran pertama dalam penangkaran pada tahun
2001; penelitian terhadap kegagalan-kegagalan ini di Kebun Binatang
Cincinnati menemukan bahwa ovulasi badak sumatera disebabkan oleh aktivitas kawin dan kadar progesteronnya tak terduga.[46] Keberhasilan pemuliaan akhirnya tercapai pada tahun 2001, 2004, dan 2007 dengan pemberian progestin tambahan kepada badak hamil.[47]
Baru-baru ini seekor anak badak sumatera dilahirkan dalam penangkaran
dari seekor betina yang terancam punah di Indonesia bagian barat,
kelahiran seperti ini merupakan yang kelima dalam satu seperempat abad.[48]
Konservasi
Jumlah badak sumatera pernah cukup banyak di Asia Tenggara. Saat ini diperkirakan kurang dari 100 ekor yang masih hidup.[2] Spesies ini tergolong kritis
(terutama karena perburuan ilegal), sementara survei terakhir pada
tahun 2008 memperkirakan sekitar 250 ekor yang masih bertahan hidup.[49][50]
Sampai dengan awal tahun 1990-an, penurunan populasi diperkirakan lebih
dari 50% per dekade, dan populasi yang tersebar serta sedikit tersebut
saat ini menghadapi risiko depresi penangkaran sanak yang tinggi.[2] Sebagian besar habitatnya yang tersisa adalah di daerah pegunungan Indonesia yang relatif sulit dijangkau.[51][52]
Perburuan liar badak sumatera menimbulkan keprihatinan, sebab harga culanya diperkirakan mencapai US$ 30.000 per kilogram.[22]
Spesies ini telah diburu secara berlebihan selama berabad-abad,
sehingga membuat populasinya sangat berkurang dan masih mengalami
penurunan hingga sekarang.[2]
Badak tersebut sulit untuk diamati dan diburu secara langsung (seorang
peneliti lapangan menghabiskan waktu tujuh minggu dengan bersembunyi di
sebuah pohon dekat tempat menggaram
tanpa pernah mengamati seekor badak pun secara langsung), sehingga para
pemburu memanfaatkan perangkap tombak dan perangkap lubang. Pada tahun
1970-an, dibuat dokumentasi terkait pemanfaatan anggota-anggota tubuh
badak di kalangan masyarakat setempat Sumatera, seperti penggunaan cula
badak dalam jimat
dan adanya kepercayaan masyarakat bahwa cula memberikan beberapa
perlindungan terhadap racun. Daging badak yang dikeringkan digunakan
sebagai obat untuk diare, kusta, dan tuberkulosis. "Minyak badak", suatu ramuan yang dibuat dengan cara merendam tengkorak badak dalam minyak kelapa
selama beberapa minggu, dapat digunakan untuk mengobat
penyakit-penyakit kulit. Sejauh mana penggunaan dan kepercayaan dalam
praktik-praktik ini tidak diketahui.[27][29][39] Cula badak pernah diyakini penggunaannya secara luas sebagai afrodisiak; walaupun pada kenyataannya pengobatan tradisional Tionghoa tidak pernah menggunakannya untuk tujuan ini.[22] Namun demikian perburuan spesies ini terutama didorong oleh adanya permintaan cula badak yang diduga demi khasiat obat.[2]
Hutan hujan di Indonesia dan Malaysia, tempat hunian badak sumatera, juga menjadi sasaran pembalakan liar ataupun yang legal karena harapan untuk mendapatkan kayu keras dari hutan-hutan tersebut. Kayu langka seperti merbau, meranti, dan semaram sangat bernilai di pasar internasional, harganya mencapai $1,800 per m3.
Penegakan hukum atas penebangan liar sulit dilakukan karena adanya
kehidupan manusia di dalam atau dekat dengan banyak dari hutan yang sama
dengan yang dihuni badak tersebut. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 telah digunakan sebagai alasan untuk membenarkan aktivitas penebangan kayu
yang baru. Meskipun kayu keras dalam hutan hujannya badak sumatera
ditujukan untuk pasar internasional dan tidak banyak digunakan dalam
bidang konstruksi di dalam negeri, jumlah izin penebangan hutan ini
telah meningkat secara dramatis akibat tsunami tersebut.[31]
Tetapi, walaupun badak sumatera telah dikemukakan sangat sensitif
terhadap gangguan habitat, tampaknya hal ini tidak sebanding dengan
adanya aktivitas perburuan, sebab mereka sedikit banyak mampu bertahan dalam kondisi hutan apa pun.[2]
Badak sumatera timur dipastikan telah punah di alam liar pada bulan April 2015, dan hanya tersisa 3 ekor di penangkaran.[53] Sementara badak sumatera daratan di Malaysia dipastikan telah punah di alam liar pada bulan Agustus 2015.[54]
Dalam penangkaran
Badak sumatera tidak dapat berkembang dengan baik di luar ekosistem mereka. Belum ada seekor pun spesimen yang lahir dalam suatu kebun binatang sejak sebuah kelahiran tunggal yang sukses pada tahun 1889 di Kebun Binatang Kolkata. Pada tahun 1872, Kebun Binatang London mendapatkan sepasang jantan dan betina yang tertangkap di Chittagong
pada tahun 1868. Sang betina yang diberi nama "Begum" bertahan hidup
sampai tahun 1900, sebuah rekor sepanjang masa untuk seekor badak dalam
penangkaran.[55] Begum merupakan salah satu dari setidaknya tujuh spesimen subspesies D. s. lasiotis yang telah punah yang pernah dimiliki kebun-kebun binatang dan sirkus-sirkus.[27] Pada tahun 1972, Subur, satu-satunya badak sumatera yang masih tersisa dalam penangkaran, mati di Kebun Binatang Kopenhagen.[27]
Meskipun reproduksi spesies ini masih kurang sukses, pada awal tahun
1980-an beberapa lembaga konservasi memulai suatu program
perkembangbiakan badak sumatera di dalam tempat penangkaran. Antara
tahun 1984 dan 1996, program konservasi ex situ
memindahkan 40 badak sumatera dari habitat asli mereka ke berbagai
kebun binatang dan tempat penampungan di seluruh dunia. Kendati pada
awalnya ada harapan yang besar, dan ada banyak penelitian yang dilakukan
pada spesimen-spesimen dalam penangkaran, hingga akhir tahun 1990-an
tidak ada satu badak pun yang lahir melalui program ini, dan sebagian
besar pendukungnya sepakat bahwa program ini telah gagal. Pada tahun
1997, kelompok spesialis badak Asia dari IUCN,
yang mana pernah mendukung program tersebut, menyatakan bahwa program
tersebut telah gagal "bahkan dalam mempertahankan spesies ini dalam
batasan angka kematian yang dapat diterima", dengan catatan bahwa selain
kurangnya jumlah kelahiran, 20 ekor dari keseluruhan badak hasil
tangkapan telah mati.[29] Pada tahun 2004, wabah surra
di Pusat Konservasi Badak Sumatera membunuh semua badak dalam
penangkaran di Semenanjung Malaysia, sehingga mengurangi keseluruhan
populasi badak dalam penangkaran menjadi delapan ekor saja.[38][52]
Tujuh ekor dari keseluruhan badak tangkapan tersebut dikirim ke
Amerika Serikat (yang lainnya tetap di Asia Tenggara), tetapi pada tahun
1997 jumlah mereka berkurang menjadi tiga: seekor betina di Kebun Binatang Los Angeles, seekor jantan di Kebun Binatang Cincinnati, dan seekor betina di Kebun Binatang Bronx.
Sebagai upaya terakhir, ketiga badak tersebut kemudian disatukan di
Cincinnati. Pada akhirnya, setelah berbagai kegagalan upaya selama
bertahun-tahun, Emi (seekor betina dari Los Angeles) hamil untuk yang
keenam kalinya, dengan seekor jantan bernama Ipuh dari kebun binatang
tersebut. Lima kehamilan sebelumnya selalu berakhir dengan kegagalan.
Para peneliti di kebun binatang tersebut telah belajar dari
kegagalan-kegagalan sebelumnya, dan walaupun menggunakan bantuan
pengobatan hormon khusus, Emi akhirnya melahirkan seekor anak badak
jantan yang sehat bernama Andalas (artinya Sumatera) pada bulan
September 2001.[56]
Kelahiran Andalas merupakan kelahiran pertama yang sukses dari seekor
badak sumatera di dalam penangkaran selama kurun waktu 112 tahun. Seekor
anak badak perempuan bernama Suci menyusul pada 30 Juli 2004.[57]
Pada tanggal 29 April 2007, Emi melahirkan untuk yang ketiga kalinya,
ia melahirkan anak keduanya yang jantan yang bernama Harapan atau Harry.[47][58] Pada tahun 2007, Andalas yang selama ini menghuni Kebun Binatang Los Angeles dikembalikan ke Sumatera untuk ambil bagian dalam program pemuliaan dengan para betina yang sehat,[45][59]
sehingga ia menjadi ayah setelah kelahiran seekor anak badak jantan
bernama Andatu pada tanggal 23 Juni 2012; Andatu adalah anak badak
keempat yang lahir dalam penangkaran pada zaman ini. Andalas kemudian
dikawinkan dengan Ratu, seekor betina yang lahir di alam liar yang
menghuni Suaka Badak Sumatera di Taman Nasional Way Kambas.[60]
Meskipun ada beberapa keberhasilan di Cincinnati, program pembiakan
dalam penangkaran tetap merupakan hal yang kontroversial. Para
pendukungnya berpendapat bahwa kebun-kebun binatang telah membantu upaya
konservasi dengan mempelajari kebiasaan reproduksi mereka, meningkatkan
edukasi dan kesadaran masyarakat seputar badak tersebut, serta membantu
meningkatkan sumber daya finansial demi upaya-upaya konservasi di
Sumatera. Para penentang program penangkaran berpendapat bahwa
kerugiannya terlalu besar; program tersebut terlalu mahal; mengeluarkan
badak-badak dari habitat mereka, walau hanya untuk sementara, berarti
mengubah peranan mereka secara ekologis;
dan populasi dalam penangkaran tidak dapat menandingi tingkat pemulihan
populasi dalam habitat asli yang dilindungi dengan baik.[45] Pada bulan Oktober 2015 Harapan, badak terakhir di Belahan Barat, meninggalkan Kebun Binatang Cincinnati untuk menuju Indonesia.[61]
Penggambaran dalam budaya
Selain dari beberapa ekor yang dipelihara di kebun-kebun binatang dan
digambarkan dalam buku-buku, badak sumatera kurang begitu dikenal
karena kalah populer dengan badak putih dan hitam dari India yang mana
lebih umum dikenal. Namun baru-baru ini rekaman video mengenai badak
sumatera di habitat aslinya dan di pusat-pusat pembiakan telah
ditampilkan dalam beberapa dokumenter tentang alam. Rekaman yang
ekstensif dapat dilihat dalam The Littlest Rhino (Badak yang Terkecil), sebuah dokumenter dari Asian Geographic. Natural History New Zealand
memperlihatkan rekaman mengenai seekor badak sumatera, yang diambil
oleh Alain Compost (seorang juru kamera berbasis Indonesia), dalam
dokumenter The Forgotten Rhino (Badak yang Terlupakan) tahun 2001. Dokumenter tersebut terutama menampilkan badak-badak India dan Jawa.[62][63]
Meskipun badak-badak tersebut didokumentasikan dengan mengikuti kotoran dan jejak lintasan yang mereka tinggalkan, foto-foto badak kalimantan
pertama kali diambil dan disebarkan secara luas oleh para
konservasionis modern pada bulan April 2006, yaitu ketika kamera-kamera
intai memotret seekor badak dewasa yang sehat di hutan-hutan Sabah di Malaysia Timur.[64]
Pada 24 April 2007 diumumkan bahwa untuk pertama kalinya kamera-kamera
berhasil mengambil rekaman video dari seekor badak kalimantan liar.
Rekaman malam hari ini memperlihatkan badak tersebut sedang makan,
mengintai melalui dedaunan hutan, dan mengendus peralatan video
tersebut. World Wildlife Fund,
yang telah melakukan perekaman video tersebut, telah menggunakannya
dalam upaya untuk meyakinkan para pemerintah daerah untuk mengubah
daerah tersebut menjadi suatu zona konservasi badak.[65][66]
Pemantauan terus dilakukan; 50 kamera baru telah dipersiapkan, dan pada
bulan Februari 2010, seekor badak yang tampaknya sedang hamil berhasil
direkam.[67]
Sejumlah cerita rakyat mengenai badak sumatera berhasil dihimpun oleh para pemburu dan naturalis kolonial sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Di Birma,
pernah tersebar luas suatu keyakinan bahwa badak sumatera memakan api.
Hikayat-hikayat menggambarkan badak yang makan api tersebut mengikuti
asap sampai ke sumbernya, terutama api unggun, dan kemudian menyerang
kampnya. Ada juga kepercayaan rakyat Birma bahwa waktu terbaik untuk
berburu adalah setiap bulan Juli, sewaktu badak-badak sumatera berkumpul
di bawah sinar bulan purnama. Di Malaya,
dikatakan bahwa cula badak tersebut berongga dan dapat digunakan
sebagai semacam selang untuk menghirup udara dan menyemprotkan air. Di
Malaya dan Sumatera, pernah ada kepercayaan bahwa badak sumatera
meluruhkan culanya pada setiap tahun dan menguburnya di dalam tanah. Di
Kalimantan, badak tersebut dikatakan memiliki suatu kebiasaan karnivora
yang aneh: setelah buang air besar di suatu aliran sungai, ia akan
berbalik dan memakan ikan yang telah terbius oleh kotorannya.[27]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar