Jalak Bali Nyaris Punah Di Habitat Asli
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
atau disebut juga Curik Bali adalah sejenis burung sedang dengan
panjang lebih kurang 25 cm. Burung pengicau berwarna putih ini merupakan
satwa endemik Indonesia yang hanya bisa ditemukan di Pulau Bali bagian
barat. Burung ini juga merupakan satu-satunya satwa endemik Pulau Bali
yang masih tersisa setelah Harimau Bali dinyatakan punah. Sejak tahun
1991, satwa yang masuk kategori “kritis” (Critically Endangered) dalam Redlist IUCN dan nyaris punah di habitat aslinya ini dinobatkan sebagai fauna identitas (maskot) provinsi Bali.
Jalak Bali ditemukan pertama kali oleh
Dr. Baron Stressmann seorang ahli burung berkebangsaan Inggeris pada
tanggal 24 Maret 1911. Nama ilmiah Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
dinamakan sesuai dengan nama Walter Rothschild pakar hewan
berkebangsaan Inggris yang pertama kali mendiskripsikan spesies pada
tahun 1912.
Burung Jalak
Bali ini mudah dikenali dengan ciri-ciri khusus, di antaranya
memiliki bulu yang putih di seluruh tubuhnya kecuali pada ujung ekor dan
sayapnya yang berwarna hitam. Jalak Bali memiliki pipi yang tidak
ditumbuhi bulu, berwarna biru cerah dan kaki yang berwarna keabu-abuan.
Antara burung jantan dan betina serupa.
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) merupakan
satwa yang secara hidupan liar (di habitat aslinya) populasinya amat
langka dan terancam kepunahan. Diperkirakan jumlah spesies ini yang
masih mampu bertahan di alam bebas hanya sekitar belasan ekor saja.
Karena itu, Jalak Bali memperoleh
perhatian cukup serius dari pemerintah Republik Indonesia, yaitu dengan
ditetapkannya makhluk tersebut sebagai satwa liar yang dilindungi
oleh undang-undang. Perlindungan hukum untuk menyelamatkan satwa
tersebut ditetapkan berdasarkan surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor
421/Kpts/Um/8/1970 tanggal 26 Agustus 1970. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Jalak Bali merupakan satwa yang dilarang diperdagangkan kecuali
hasil penangkaran dari generasi ketiga (indukan bukan dari alam).
Dalam konvensi perdagangan internasional bagi jasad liar CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Jalak Bali terdaftar pada Apendix I, yaitu kelompok yang terancam kepunahan dan dilarang untuk diperdagangkan. Sedang IUCN (International Union for Conservation of Natur and Natural Resources) memasukkan Jalak Bali dalam kategori “kritis” (Critically Endangered)
yang merupakan status konservasi yang diberikan terhadap spesies yang
memiliki risiko besar akan menjadi punah di alam liar atau akan
sepenuhnya punah dalam waktu dekat.
Kepunahan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) di
habitat aslinya disebabkan oleh deforestasi (penggundulan hutan) dan
perdagangan liar. Bahkan pada tahun 1999, sebanyak 39 ekor Jalak Bali
yang berada di pusat penangkaran di Taman Nasional Bali Barat, di
rampok. Padahal penangkaran ini bertujuan untuk melepasliarkan satwa
yang terancam kepunahan ini ke alam bebas.
Untuk menghindari kepunahan, telah
didirikan pusat penangkaran yang salah satunya berada di Buleleng, Bali
sejak 1995. Selain itu sebagian besar kebun binatang di seluruh dunia
juga menjalankan program penangkaran Jalak Bali. Tetapi tetap muncul
sebuah tanya di hati saya; mungkinkah beberapa tahun ke depan kita hanya
akan menemui Jalak Bali, Sang Maskot Bali, di balik sangkar-sangkar
kebun binatang. Suatu hal yang ironis, melihat sebuah maskot yang harus
dikurung dalam kerangkeng besi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar